Sejarah bulit shafa marwah adalah dua bukit yang menjadi saksi perjuangan Siti Hajar istri Nabi Ibrahim As. Ketika itu Nabi Ibrahim harus meninggalkan Siti Hajar yang baru melahirkan Ismail untuk sebuah perintah.
Allah betfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 158 :
اِنَّ الصَّفَا وَالۡمَرۡوَةَ مِنۡ شَعَآٮِٕرِ اللّٰهِۚ فَمَنۡ حَجَّ الۡبَيۡتَ اَوِ اعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ اَنۡ يَّطَّوَّفَ بِهِمَا ؕ وَمَنۡ تَطَوَّعَ خَيۡرًا ۙ فَاِنَّ اللّٰهَ شَاكِرٌ عَلِيۡمٌ
Artinya:
Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syi‘ar (agama) Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‘i antara keduanya. Dan barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah : 158)
Siti Hajar, ibu dari Nabiyullah Ismail adalah orang yang pertama kali melakukan sa’i (berjalan dengan bergegas) antara Shafa dan Marwah sejauh 405 meter. Sebuah aktivitas yang menjadi salah satu ritual dalam ibadah haji dan umroh yang dilakukan antara bukit Shafa dan bukit Marwah yang terletak di Masjidil Haram.
Apabila jamaah telah melaksanakan thawaf, hendaknya keluar melalui Baab Ash-Shafa (pintu Shafa), menuju bukit Shafa lalu menaiki beberapa anak tangganya untuk melakukan sa’i. Sebab, sa’i adalah salah satu rukun haji yang dilakukan dengan jalan cepat, lebih cepat dari jalan biasa dan lebih lambat dari lari.
Sa’i merupakan berjalan dari bukit Shafa ke bukit Marwah dan sebaliknya, sebanyak tujuh kali yang berakhir di Marwah. Artinya perjalanan dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali, begitu pula dari Marwah ke Shafa dihitung satu kali. Dalam praktiknya, rincian perjalanan itu empat kali dari Shafa ke Marwah dan tiga kali dari Marwah ke Shafa secara berurutan.
Dalam pelaksanaanya, sebaiknya sa’i dimulai dengan langkah-langkah biasa, sampai melintasi Bathnul Waadi ditandai dengan lampu berwarna hijau pertama. Dari tempat itu, jamaah haji pria disunatkan untuk berlari-lari kecil sedangkan untuk jamaah wanita berjalan cepatsampai di tanda hijau yang kedua. Lalu dari tempat itu, jamaah kembali berjalan biasa.Bagi jamaah haji yang sakit boleh menggunakan kursi roda.
Apabila telah sampai di bukit Marwah, hendaknya menaiki bukit Marwah seperti halnya ketika di bukit Shafa. Dengan menghadap ke arah Shafa dan berdoa seperti sebelumnya. Dengan demikian, jamaah haji telah selesai melakukan satu kali lintasan sa’i. Dan jika telah kembali lagi ke bukit Shafa, maka dihitung dua kali. Begitulah selanjutnya hingga tujuh kali lintasan. Setelah menyelesaikan tujuh kali lintasan, maka jamaah haji telah menyelesaikan dua hal, yakni thawaf qudum dan sa’i.
Bila jamaah haji memulai sa’inya dari bukit Marwah, maka sa’i dianggap sah. Tapi,jamaah harus menambah satu perjalanan lagi sehingga berakhir di Marwah. Dalam melakukan sa’i, jamaah dianjurkan bersuci lebih dulu, tapi bukan wajib seperti ketika mengerjakan thawaf. Ibadah sa’i boleh dilakukan keadaan tidak berwudhu maupun dalam keadaan haid atau nifas bagi kaum wanita.
Dulu, pada saat zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (SAW), bukit Shafa dan Marwah berada di luar Masjidil Haram. Namun seiring dengan terus berlangsungnya perluasan Masjidil Haram, maka area perlintasan tersebut kini menjadi satu dengan Masjidil Haram, meskipun dari segi syar’i kedua bangunan ini tetap tidak dapat dipersamakan.
Kini, lintasan sa’i (mas’a) yang berjarak sekitar 405 meter itu telah direnovasi dengan bangunan yang panjang dan memiliki dua lantai. Dengan lebar keseluruhan sekitar 20 meter, jalur yang dipergunakan untuk ibadah tersebut terbagi menjadi empat jalur, yakni dua jalur untuk para pejalan kaki serta dua jalur khusus bagi jamaah difable maupun jamaahyang menggunakan kursi roda. Malah gedung berlantai dua lintasan sa’i itu dilengkapi dengan fasilitas pendingin udara (AC) dan kipas angin. Perjalanan sa’i sepanjang tujuh kali putaran (total 2,8 kilometer) pun serasa tak melelahkan.
Hukum Sa’i menurut sebagian ulama seperti pendapat Ibnu Umar, Jabir dan Aisyah yang kemudian menjadi pegangan Mazhab Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang menyatakan sa’i merupakan rukun haji. Karena itu, jamaah haji yang meninggalkan sa’i, maka batalah ibadah hajinya dan hal ini tidak dapat diganti dengan dam (denda) atau bentuk yang lainnya. Sementara menurut Ibnu Abbas, Ibnu al-Zubair, Anas, Ibnu Sirin dan perawi yang lain mengatakan sa’i merupakan sunnah.
Hikanah Sa’i
Dalam Al-Quran, surat Ibrahim ayat 37, Allah berfirman, yang artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Ayat di atas menjadi cikal bakal sejarah terjadinya prosesi ibadah sa’i yang kini dilakukan oleh para jamaah haji dan umrah.Orang pertama yang melakukan sa’i antara dua bukit tersebut adalah ibu Nabi Ismail. Waktu itu, Siti Hajar kebingungan karena putranya, Nabi Ismail menangis kehausan. Ia mencari air ke sana ke mari untuk minum anaknya.
Akhirnya Allah memancarkan sebuah mata air untuk mereka berdua. Mata air tersebut kemudian dinamai Zam-zam. Inilah pelajaran dan hikmah terkait peristiwa sebabnya sa’i, yaitu ketaatan Nabiyullah Ibrahim dalam melaksanakan perintah Allah.Termasuk keyakinan beliau dan isterinya Siti Hajar akan jaminan rezeki Allah dalam melaksanakan perintahnya.
Perjalanan antara Shafa dan Marwah mengandung pengertian memohon pertolongan kepada Allah dalam menghadapi kesulitan, dan memohon ampunan dari seluruh perbuatan dosa. Akhirnya, sa’idikenal sebagai sunnah atau tradisi keluarga nenek moyang umat Islam yakni Nabiyullah Ibrahim, Siti Hajar dan Nabiyullah Ismail. Selain itu, sa’i juga merupakan perintah Allah SWT dan yang disunnahkan Nabi Muhammad SAW